Oleh : Luky B. Rouf (LBR)
Kemuliaan Islam dengan syariatnya salah satunya ditunjukkan dengan memberikan pola interaksi unik antara dua insan manusia yang mengikatkan diri sebagai suami-isteri dalam berumah tangga. Interaksi unik tersebut tergambar pada kedudukan suami bagi isteri dan isteri bagi suami. Allah telah menciptakan (khalaqa) seorang isteri sebagai sahabat bagi kita, para suami. Karena masing-masing menjadi sahabat bagi lainnya secara utuh dan sempurna dalam semua aspek kehidupan, maka pola interaksi dan pergaulan diantara mereka berdua pun senantiasa penuh diliputi oleh rasa persahabatan.
“Siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapat kebaikan, maka Ia (Allah) memberinya sahabat yang baik” (Muktasar Ihya Ulumudin)
Kemuliaan Islam dengan syariatnya salah satunya ditunjukkan dengan memberikan pola interaksi unik antara dua insan manusia yang mengikatkan diri sebagai suami-isteri dalam berumah tangga. Interaksi unik tersebut tergambar pada kedudukan suami bagi isteri dan isteri bagi suami. Allah telah menciptakan (khalaqa) seorang isteri sebagai sahabat bagi kita, para suami. Karena masing-masing menjadi sahabat bagi lainnya secara utuh dan sempurna dalam semua aspek kehidupan, maka pola interaksi dan pergaulan diantara mereka berdua pun senantiasa penuh diliputi oleh rasa persahabatan.
“Siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapat kebaikan, maka Ia (Allah) memberinya sahabat yang baik” (Muktasar Ihya Ulumudin)
Sahabat lebih dari sekedar teman. Kalau kita sedang dalam keadaan bahagia, banyak orang ingin menjadi teman kita, tapi dikala susah banyak orang juga yang tadinya menjadi teman, toh akhirnya pergi meninggalkan kita. Sahabat adalah teman dikala suka maupun saat kita mendapat celaka. Seorang sahabat justru akan muncul ketika kita dalam keadaan duka, dengan keikhalasannya dia akan memberi support, memberi problem solving terhadap masalah yang kita sedang diuji menghadapinya.
Isteri adalah sahabat sejati bagi suami. Dia ada dengan kesiapannya untuk berkorban tanpa pernah berharap akan balasan yang diterimanya kelak. Bagaimana tidak? Jikalau isteri menunaikan kewajibannya memasak, mencuci pakaian, mengurus suami dan anak, serta kewajiban-kewajiban lainnya yang ketika suami tidak di rumah, dia mengurus dan mengurus isi rumah tanpa pernah berpikir apakah dilihat oleh suaminya atau tidak. Isteri menjalankan kewajibannya dengan penuh ikhlas semata menunaikan kewajiban dari Allah SWT. Sebab dia yakin, baik dilihat maupun tidak dilihat oleh suaminya, pekerjaan yang dilakukannya tetap akan bernilai pahala, jikalau semuanya dilakukan atas dasar ibadah kepada Allah SWT. Sebab dia akan payah sendiri, kalau mempermasalahkan setiap pekerjaan yang dia lakukan, berharap diperhatikan oleh suaminya, justru tidak akan bernilai pahala dan tidak bisa disebut ibadah. Disitulah kita bisa melihat sendiri, syariat Islam telah memuliakan kedudukan seorang isteri bagi suaminya dalam berumah tangga.
Persahabatan isteri adalah sebuah persahabatan yang bisa membuat suami menjadi merasa tenteram dan tenang terhadap dirinya maupun keluarganya. Karena memang Allah SWT menciptakan (ja’ala) seorang isteri itu sebagai tempat lahirnya ketentraman dan ketenangan bagi kehidupan suami. Allah SWT berfirman:
“Dialah yang menciptakan kalian dari satu orang, kemudian darinya Dia menciptakan isterinya, agar menjadi cocok dan tenteram kepadanya” (TQS. al-A’raf 189)
Allah SWT juga berfirman :
“Dan termasuk tanda-tanda kekuasan-Nya Dia menciptakan bagi kalian isteri-isteri dari diri kalian agar kalian cocok dan tenteram kepadanya dan Dia menciptakan cinta dan kasih sayang diantara kalian” (TQS. ar-Rum 21)
Kata as sakanu maknanya adalah tenteram dan tenang. Berarti, maksud ayat ini adalah diciptakan-Nya isteri-isteri itu agar seorang suami menjadi tenteram dan tenang terhadap isterinya. Masing-masing tertarik kepada lainnya dan tidak berpaling. Pada dasarnya, itulah esensi pernikahan, yakni diperolehnya ketentraman, ketenangan dan kedamaian.
Bagaimana tidak tenang kalau selalu ada orang yang dengan cintanya selalu care terhadap kita. Sebagai sahabat, isteri akan hadir sebagai pelurus dikala kita melakukan kesalahan dalam melangkah. Jika suami melakukan pembelokan-pembolakan syariat, tidak justru seorang isteri akan datang dengan cinta kasihnya mengamini perbuatan suaminya. Kata Ali r.a : “Seorang sahabat adalah orang yang selalu membuat kita jadi benar, bukan yang selalu membenarkan kita”. Konsekwensi persahabatan adalah masing-masing harus mau dikoreksi dan mengoreksi. Nasihat isteri bagi suami ibarat air penyejuk dikala dahaga, ibarat cahaya penerang dalam gulita. Semuanya penuh hikmah dan manfaat yang mendalam bagi sang suami dan juga bagi perjalanan kehidupan rumah tangganya.
Begitulah kemulian isteri sebagai sahabat sejati bagi suami. Maka, bagi kita, para suami balasan apa yang pantas kita berikan bagi sahabat sejati kita itu, tidak lain adalah sikap serupa, yakni kita juga akan berusaha menjadi sahabat sejati bagi isteri kita dengan menjadi suami yang sholih bagi isteri kita yang sholehah tadi.
Atau kalau pun kita “belum” mendapatkan (saya beri tanda petik, artinya bukan tidak bisa) sahabat sejati di rumah tangga kita, maka ingatlah, yang salah bukan syariat Islamnya, melainkan kita yang kurang piawai “memanfaatkan” syariat untuk menciptakan wasilah (uslub) agar menjadi rumah tangga yang penuh cinta dan kasih sayang. Atau dengan kata lain, kita tidak bisa menciptakan suasana persahabatan dengan isteri kita. Maka, jikalau itu yang terjadi, akhirnya jangan buru-buru menyalahkan isteri kita karena tidak bisa menjadi sahabat sejati kita.
Bisa jadi sebagai suami, kita kadang posesif. Ingin isteri kita baik terhadap kita, padahal kita tidak pernah berlaku baik kepada dia. Ingat, bukankah kebahagiaan atau kedukaan bagi diri kita adalah kita sendiri yang bisa menciptakan, tidak tergantung orang lain? Bukankah di akhirat kelak kita sendiri yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan kita? Sebagaimana Allah SWT berfirman:
“Tidakkah suatu jiwa menanggung dosa orang lain” (TQS. al-An’am 164)
“Setiap orang bertanggung jawab terhadap apa-apa yang dia kerjakan” (TQS. ath-Thur 21)
Nah, jika itu keadaanya tidaklah perlu kita menyandarkan perbuatan baik kita terhadap pertimbangan isteri kita yang belum baik terhadap kita. Maka untuk mendapatkan isteri sebagai sahabat sejati bagi kita, maka jadilah dulu sahabat sejati bagi isteri kita.
Sudahkah selama ini, kita menjadi sahabat sejati bagi isteri kita ? Sementara kita hanya terus berharap bahkan memaksa isteri menjadi sahabat sejati bagi kita. Jikalau belum, maka risalah mungil ini bisa jadi bekal anda mencoba jadi sahabat sejati isteri anda. Jangan tidak dicoba !!!
1. Pergauli dengan cara yang ma’ruf
“Dan bergaullah dengan mereka secara ma’ruf” (TQS. an-Nisa 19)
Makna kata usyrah adalah mencampuri atau menggauli, artinya Allah SWT telah memerintahkan para suami agar menggauli dan mencampuri isteri mereka dengan cara yang ma’ruf (baik). Ketika aqad nikah telah ditunaikan, maka persahabatan suami isteri dilakukan secara sempurna. Diantara perlakuan persahabatan itu nampak ketika suami menggauli isterinya (jima’) dengan cara yang ma’ruf.
“Isteri-isteri kamu adalah sawah ladangmu, maka datangilah ladang kamu sesukamu” (TQS. al-Baqarah 223)
Tidak akan ada insan manusia yang bisa merasakan kenikmatan persahabatan sejati, kecuali seorang isteri yang memperoleh cara pergaulan yang ma’ruf sesuai syariat dari suaminya. Diantara pergaulan yang ma’ruf adalah jima’ (bersetubuh) dengan isteri syah sesuai tuntunan syariat. Berjima’ pun syariat menggariskan dengan cara yang ma’ruf pula.
2. Nafkahi sesuai kemampuanmu
“Hendaklah orang-orang mampu memberikan nafkah menurut kemampuanya, Barangsiapa yang sempit (sedikit rizkinya) hendaklah memberikan nafkah menurut yang diberikan Allah kepadanya” (TQS. ath Thalaq 7)
Rasulullah Saw bersabda :
“Hak isteri pada suami adalah memberi makan kepada isterinya, apabila ia makan, memberi pakaian kepadanya jika ia berpakaian, tidak memukul pada muka dan tidak berbuat jelek serta tidak memisahkan diri kecuali dari tempat tidur” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majjah)
Menjadi sahabat yang baik bagi isteri tidak bisa dilakukan hanya dengan menuntut hak kita dipenuhi oleh isteri. Tapi kewajiban kita sebagai suami yang merupakan hak isteri yang juga harus kita tunaikan. Diantara kewajiban asasi bagi suami kepada isterinya adalah memberi nafkah. Maka menjadi sebuah kepastian seorang suami memiliki penghasilan dan atau pekerjaan. Bisa penghasilan yang didapatkan dari dia bekerja ataupun penghasilan yang didapatnya bukan dari bekerja. Misalnya, mendapat tunjangan/gaji sebagai boss, manajer atau dewan penasehat, dan lain-lain.
Islam sendiri memerintahkan manusia untuk bekerja, Firman Allah Swt :
“Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya” (TQS. al-Mulk 15)
“Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah di muka bumi, dan carilah karunia Allah…” (TQS. al- Jumuah 10)
Rizki tidak datang kepada kita yang hanya berpaku tangan. Dan juga rizki tidak datang begitu saja ketika kita sudah berdoa berjam-jam di masjid. Melainkan rizki harus dicari, dan bekerja merupakan salah satu keadaan datangnya rizki dari Allah SWT. Bukan berarti bekerja merupakan sebab datangnya rizki Allah, bekerja hanya sebuah perantara, semata-mata sebab datangnya rizki hanya Allah SWT.
Maka dari itu, tidak selalu pekerjaan yang berat dan menyita waktu menghasilkan rizki (baca : uang) yang banyak, demikian sebaliknya, mungkin ada pekerjaan yang tidak memerlukan tenaga yang ekstra dan waktu yang lama bisa menghasilkan rizki banyak. Sedikitnya rizki yang diterima oleh suami, tidak menjadi penghalang kewajiban suami untuk menafkahi isteri dan keluarganya. Kalau sudah seperti itu, diskusi menjadi sarana yang diperlukan untuk menjembatani agar isteri mengerti posisi suami dalam keadaan sulit mencari rizki dan menasehatinya untuk selalu bersabar serta tidak meninggalkan ikhtiar bersama-sama.
Namun jikalau benar kita memperoleh kelapangan rizki hendaknya kita tidak bersifat kikir terhadap isteri kita. Itu akan membuka peluang bagi isteri kita untuk berbuat tidak selayaknya sahabat sejati kita. Hadits Nabi Saw menyebutkan :
“Hindu r.a berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang laki-laki yang kikir, tak pernah memberikan nafkah yang cukup untukku juga untuk anak-anakku, maka aku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya” Maka Rasulullah Saw bersabda : “Ambillah untukmu dan anak-anakmu dengan cara yang ma’ruf” (HR. Bukhari Muslim)
Di tengah iklim serba materialistik saat ini, seorang suami tidak cukup memberi nafkah lahir kepada isteri, tapi dia juga harus ikut membantu isteri memanej nafkah lahir tadi dan membantu isteri membelanjakan kebutuhan sesuai dengan kemampuan dan keperluanya. Ikut memberi support kepada isteri, jikalau isteri ingin membelanjakan kebutuhan yang asasi, sementara akan menasehati sang isteri jika ternyata istri ingin berbelanja sesuatu diluar kebutuhan asasi, ini merupakan salah satu bentuk suami menafkahi isteri dalam bentuk batiniah. Maka hendaknya kedua nafkah itu diberikan secara seimbang kepada isteri.
“Rasulullah senantiasa membantu urusan keluarganya, apabila datang waktu sholat keluarlah Beliau untuk sholat” (HR. Bukhari)
Disinilah letak persahabatan suami-isteri akan semakin erat. Masing-masing saling mengisi dan mengerti kekurangan pasangannya, karena nobody perfect. Isteri bukan malaikat, yang tidak pernah melakukan kesalahan. Jika terjadi perselisihan problem keuangan, maka musyawarah selalu efektif untuk jadi penengah keduanya. Di tengah musyawarah itulah, kita kemukakan masalah kepada isteri kita seraya meminta pendapat darinya. Dan jangan keburu marah jika pendapat isteri kita tidak sesuai dengan pendapat kita. Belajarlah untuk memahami dengan baik, siapa tahu dengan tenang dan mendengarkan dalam menyelesaikan masalah akan cepat selesai masalah yang sedang dihadapi. Jangan lupa setelah isteri menyampaikan urun rembugnya kepada kita, ucapkanlah terima kasih kepadanya atas keikutsertaanya menyelesaikan masalah.
Termasuk memusyawarahkan dan memahamkan kepada isteri tentang makna as-sa’adah (kebahagian) sejati, bukanlah karena berlipat gandanya materi atau kekayaan, melainkan kebahagian akan muncul tatkala ridhlo Allah selalu bersama kita di setiap aktivitas ibadah yang kita lakukan. Apalah artinya kekayaan yang melimpah kalau di setiap perbuatan kita, Allah tidak ridhlo, karena perbuatan itu salah caranya atau dilakukan dengan tidak Ikhlas, bukan semata-mata karena Allah.
Justru jikalau manusia hidupnya hanya berorientasi kepada penumpukan materi, hidupnya akan dibuat susah. Boro-boro, menumbuhkan cinta kasih suami-isteri, malahan bisa jadi persahabatan sejati suami-isteri rusak, hanya karena gara-gara harta. Makanya harta bukanlah segala-galanya. Bekerja dengan cara yang halal dan rizkinya cukup untuk memenuhi kebutuhan asasi keluarga itu nasehat yang selalu kita wejangkan kepada isteri kita.
3. Pimpin, didik dan bimbing dengan bijak
Menjadi pemimpin tidak secara otomatis menjadi orang yang selalu dipuja dan dipuji. Justru ketika kita menjadi pemimpin selalu berharap dihormati, maka kita akan merasa terpenjara dengan rasa hormat itu. Atau ketika kehormatan itu tidak jua datang, kita akan kecewa dan sakit hati, akhirnya menyalahkan orang yang tidak menghormati kita.
Maka kehormatan itu akan datang dengan sendirinya, jikalau kita bijak dalam memimpin rumah tangga. Bagaimana kita mendapat kehormatan dari orang yang kita pimpin, jikalau kita memimpin dengan cara yang tidak bijak, diktator ataupun posesif ? Menjadi pemimpin di rumah tangga artinya kita menjadi pendidik dan pembimbing bagi isteri kita. Kita bisa memelihara diri kita, isteri kita dan keluarga kita dari melakukan perbuatan yang melanggar syariat Allah. Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (TQS. at-Tahrim 6)
“Takutlah kamu semua kepada Allah, takutlah kamu semua kepada Allah dalam urusan kaum wanita, karena mereka adalah amanat Allah pada kekuasaanmu. Maka siapa yang tidak memerintahkan sholat kepada isterinya dan tidak mengajarkan (urusan agama) kepadanya, ia benar-benar berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari Muslim)
Seorang sahabat akan memimpin dengan tauladannya, dia akan menjadi orang pertama menyuruh sekaligus orang yang pertama melaksanakan. Pemimpin bukanlah yang menyuruh orang lain melakukan tapi dirinya sendiri tidak melakukan. Memimpin bukan berarti menjadi orang yang selalu menang. Karena kehormatan diri tidak ditunjukkan dengan menang atau kalahnya kita dalam memimpin. Ada saatnya kita mengalah, sudi mendengarkan nasihat dan pendapat dari isteri kita, siapa tahu isteri kita memberi jalan yang lebih bijak dari kita.
Sebagai suami yang menjadi sahabat sejati sang isteri, kita akan membimbingnya dengan cinta. Kita nasehati juga isteri jika memang dia melakukan kesalahan, tentu dengan nasehat yang lemah lembut dan tidak menyakitkan. Tapi ada saatnya juga kita musti nasehati isteri kita dengan cara “keras”, karena tidak selamanya nasehat itu menyejukkan. Jikalau kita melihat pada isteri kita, ada perbuatan yang dilakukannya tidak sesuai dengan syariat, sedangkan syariat memerintahkan untuk menegurnya dengan keras, maka kita akan lakukan. Seperti misalnya, seorang wanita yang kita khawatirkan nuzyus-nya, kita boleh memisahkan tempat tidur kita dengannya, kalau itu tidak mempan kita bisa memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan (lihat QS An-Nisa 34). Dan perlakuan suami seperti itu, tidak berdasarkan pada kesepakatan berdua, juga kita lakukan bukan berdasarkan egoisme, tapi lebih karena melaksanakan perintah Allah SWT, karena isteri bukan pembantu kita dan bukan pula seorang Queen alias Ratu di rumah tangga kita.
Jikalau memang harus memberi bimbingan kepada isteri, karena kebetulan isteri melakukan kesalahan atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya. Maka, kita tegur kesalahan isteri secara bijaksana, diantaranya:
Jangan pernah membesar-besarkan masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara musyawarah atau mengambil sikap mengalah. Jikalau harus memberi sangsi, tidaklah sangsi itu memberatkan atau menyakiti isteri kita. Jika isteri sudah meminta maaf dan mengaku bersalah, maka jangan kita mencari-cari alasan lagi untuk menyalahkan dia.
“Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya” (TQS. an-Nisa 34)
Juga bukanlah sikap yang bijak sebagai pemimpin rumah tangga jika kita menegur kesalahan isteri di depan orang lain. Sama halnya, kita menunjukkan belang atau mencoreng muka kita sendiri dihadapan orang lain. Bagi orang yang mendengarkan atau melihat teguran kita akan merasa malu bahkan risih, apalagi isteri kita yang kita tegur dihadapan mereka. Pilihlah waktu yang tepat untuk menegurnya, awalilah teguran dengan sindiran dan isyarat yang tidak menyakitkan hati sampai dia mengerti kesalahannya terletak dimana dan ada kemauan untuk merubah kesalahannya.
Hindari ketika menegur, ketika akal kita dikuasai emosi, sebab bisa jadi kita akan mengungkit semua kesalahan masa lalu dia, padahal kesalahannya sekarang tidak ada kaitannya dengan kesalahan dia di masa lalu, yang itupun sudah kita maafkan.
Dan menegur di saat emosi, juga akan membakar semangat kita untuk meninggikan diri alias sombong. Apa yang dikandung oleh orang yang sombong kalau bukan menolak kebenaran dan merasa diri lebih tinggi dengan merendahkan orang lain. Kita merasa paling suci, tidak pernah melakukan kesalahan, sebagaimana kesalahan yang dilakukan oleh isteri kita.
Jagalah setiap teguran yang kita berikan buat isteri tidak melukai hatinya dan menjadikan akibat negatif yang lebih besar. Tunjukkanlah sikap untuk senantiasa menyayangi dan mencintai di tengah teguran.
Sabda Rasulullah Saw :
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku” (HR. Ibnu Hibban)
Salah satu sikap yang bijak pula sebagai pemimpin, jikalau kita mau introspeksi diri, jangan-jangan kita yang terlalu otoriter memimpin, sehingga tidak tahu bahwa kesalahan terletak pada diri kita, ibaratnya seperti melihat dengan jelas kuman diseberang lautan, sementara kita buta bahwa ada gajah di dekat mata kita. Jika memang itu yang terjadi, tidak usah ragu untuk mengakui kesalahan. Kehormatan diri dan kewibawaan tidak akan merosot, hanya karena kita mengakui kesalahan kita sebagai suami.
4. Jangan undang kecemburuannya
Cemburu itu ibarat sekam yang menunggu peniupnya agar menjadi sebuah api yang menyala. Maka jangan sekallpun kita coba untuk menghidupkannya, sebab sekecil apapun “tiupan” api cemburu, akan membawa dampak rusaknya persahabatan suami-isteri yang selama ini kita jalin. Dan jika tidak ada kesadaran dari kita untuk mengakhiri rasa cemburu isteri, itu artinya kita jadi orang pertama yang merusak cinta dan persahabatan tulus. Maka, jikalau kita tidak mau menaruh rasa cemburu kepada isteri, maka hendaknya kita jangan memulainya dengan mengundang kecemburuan isteri.
Menjaga pergaulan dengan lawan jenis yang bukan mahram menjadi suatu keharusan yang kita lakukan, selain karena status kita sebagai suami yang sudah menjadi “hak milik” isteri kita dan syariat Islam juga mewanti-wanti hal itu. Seperti kita bisa lihat pada sabda Rasulullah Saw :
“Tiada bersepi-sepi (berada di tempat yang sunyi) seorang lelaki dengan perempuan, melainkan syaithan merupakan orang yang ketiga diantara mereka” (HR. Tirmidzi)
Bergaul bebas dengan lawan jenis memang bukan kepribadian seorang muslim, apalagi kita harus menjaga perasaan isteri kita. Interaksi dengan lawan jenis, meskipun itu saudara atau kerabat dekat kita (ipar) atau bahkan teman isteri yang dulunya mungkin juga teman kita. Kita tetap harus bisa memahami perasaan isteri. Baik itu berupa interaksi secara langsung, maupun tidak langsung misalnya lewat telepon, sms atau chating.
Hadits Nabi Saw :
“Uqbah bin Ami r.a., berkata : Rasulullah Saw bersabda: “Awaslah kamu masuk kepada orang-orang perempuan” Seorang sahabat Ansor bertanya : “Bagaimana kalau ipar (alhamwu) ?’ Jawab Nabi : “Alhamwu berarti maut” (HR. Mutaffaqun ‘Alaih)
Kepada seorang isteri seharusnya kita berlaku baik, bertutur kata yang sopan, lemah lembut serta tidak menunjukkan kecenderungannya pada wanita lain. Sebab yang demikian itu, lebih bisa menumbuhkan keteduhan jiwa, ketenangan batin dan tak lupa lebih mempererat persahabatan sejati antara suami-isteri.
Suami pulang dari berpergian jauh yang membutuhkan waktu tidak sedikit, bisa menimbulkan gundahnya perasaan isteri kita. Jika kita pulang dari berpergian, kemudian kembali pada isteri dengan wajah dan sikap yang tidak wajar atau tidak seperti biasanya, maka sikap ini jelas memancing kecurigaan isteri kita. Maka alangkah afdholnya sebelum berpergian kita berbincang dulu bersama isteri dengan suasana penuh keakraban dan kemesraan. Bisikkan kepada isteri nasehat dan wasiat untuk selalu memegang teguh amanah terhadap apa saja yang di rumah, ketika kita tidak berada di rumah. Selingilah ditengah perbincangan itu dengan senda gurau yang menyenangkan dan berjanji untuk setia kepadanya dan cepat kembali ke rumah begitu menyelesaikan keperluan kita.
Adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan, mintalah do’a kepada isteri, agar diberi keteguhan, dimudahkan urusannya dan kembali dalam keadaan sehat. Bisa jadi, bagi suami ini hal yang sepele, tapi meski memang sepele, kenapa tidak kita coba saja, kalau ternyata hal ini bisa memperkokoh cinta kita kepada isteri, karena akan diliputi rasa rindu jika jauh dari isteri?
Sesampainya di tempat tujuan, kita sempatkan untuk menelpon atau memberitahu kepada isteri bahwa berkat doanya kita sudah sampai dengan selamat. Kemudian, tidak lupa menanyakan kepada isteri, minta oleh-oleh apa sesampainya di rumah nanti. Jika oleh-oleh itu merupakan kesenangan isteri, usahakan jangan kita kecewakan dengan tidak membawakannya ketika pulang ke rumah. Ya benar, meski tidak dibawakan oleh-oleh, mungkin rasa cinta isteri kita tidak berkurang. Tapi apa kita tidak ingin rasa cinta isteri kita yang tidak berkurang tadi malah bertambah dengan membawakannya oleh-oleh kesukaan dia?
Ingat, luangkan waktu kita untuk curhat kepada isteri tentang pengalaman selama berpergian, sebab ini akan membuat jalinan cinta semakin menancap kokoh.
Salah satu sikap mulia juga sebagai suami, kalau kita tidak memancing isteri kita cemburu lantaran kita sering bercerita atau memuji kebaikan, kecantikan, kesempurnaan wanita lain di depan isteri kita. Pujian yang kita berikan kepada wanita lain selain isteri kita, secara tidak sengaja kita telah merendahkan kedudukan isteri kita sendiri. Tentu sang isteri, akan merasa sakit hati, karena ternyata suaminya selama ini menyimpan rasa kekagumannya bukan kepada isteri tapi kepada wanita lain selain dirinya.
Saat kita memilih dia sebagai isteri kita, seharusnya kita sudah yakin bahwa dia pilihan terbaik yang diberikan oleh Allah dari sekian wanita yang ada. Meski saat kita mendapatkannya, itupun karena dijodohkan oleh saudara, teman, tetangga dan lain sebagainya. Dan bisa jadi, dalam perjalanan berumah tangga kita mendapatkan godaan dengan datangnya bayangan wanita lain dalam hidup kita. Jika itu yang terjadi, maka segera saja kita siram dan bersihkan pikiran itu dari benak kita. Bukan berarti pikiran itu kotor, tapi akan menjadi kotor, jikalau kita tidak berterus terang kepada isteri bahwa kita mempunyai kecenderungan pada wanita lain. Semuanya pasti bisa didiskusikan, bukan dengan mengambil sikap sepihak, yang tentu akan membuat sakit hati pihak lain, tiada lain isteri kita.
Apa sih yang membuat kita tertarik pada wanita lain yang bukan isteri kita sehingga membuat kita berlaku curang dengan memuji dia sementara isteri tidak pernah dapat pujian itu? Apa karena dia lebih cantik, kaya, dari keluarga yang terhormat yang sangat berbeda dengan isteri kita? Kalau itu pertimbangannya, bukankah waktu kita memilih isteri kita sebagai teman hidup, kita sudah menetapkan 4 kriteria seperti yang Rasulullah Saw, perintahkan dalam haditsnya :
“Wanita itu lazimnya dinikahi karena 4 hal : karena hartanya, kemuliaan keturunan, kecantikan serta agamanya, maka pilihlah wanita yang memiliki agama (jika tidak), maka binasalah engkau” (HR. Bukhari Muslim)
Alkisah, Umar bin Khatab r.a menikahkan putranya Ashim dengan seorang anak penjual susu, karena sewaktu beliau menjadi Khalifah, pada suatu malam dia berkeliling masuk ke daerah kampung-kampung. Tiba di suatu rumah, Umar mendengar percakapan antara ibu dan anak perempuannya : “Ayo bangunlah ! Campurlah susu itu dengan air. Apakah ibu belum mendengar larangan dari Amirul Mukminin ? Apa larangan beliau, Nak ? Beliau melarang umat Islam menjual susu yang dicampuri air. Aah… ayolah bangun. Cepatlah kau campur susu itu dengan air. Janganlah engkauu takut pada Umar, mana dia ada disini. ; Memang Umar tidak melihat kita bu, akan tetapi Allah, Robbnya Umar melihat kita. Maafkan bu, saya tidak dapat memenuhi permintaanmu. Saya tidak ingin jadi orang yang munafik, mematuhi perintahnya di depan umum akan tetapi melanggar di belakangnya.” Mendengar ucapan si anak tersebut, pada pagi harinya memerintahkan putranya Ashim : “Pergilah ke sebuah tempat terletak di daerah itu. Disana ada seorang gadis penjual susu, jika ia masih sendiri pinanglah !” (Arsadul Ghabah fii ma’rofatis Shahabah, Ibnu Katsir)
Jadi hilanglah 3 kriteria sebelumnya, jika agama yang jadi standar kita memilih isteri. Dan pada faktanya, sampai kapan kita bisa mendapatkan isteri kita cantik? Kita akan tua, diapun akan begitu. Apa kekayaan yang jadi pertimbangannya? Buat apa kita kaya harta, tapi kalau kita tidak “kaya hati” yakni menerima isteri dengan apa adanya, mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Allah dari isteri kita. Ingat, kemulyaan seseorang bukan ditunjukkan oleh harta, kecantikan, bukan pula keturunan, akan tetapi ukurannya hanya satu yakni ketakwaan kepada Allah. Hanya dengan memilih isteri karena agamanya (baca : sholihah) kita bisa selamat dan menyelamatkan keluarga kita nantinya. Hanya isteri yang sholehah yang pantas jadi sahabat sejati bagi suami yang sholih membentuk rumah tangga full ridhlo Allah.
Bagi orang yang berpikiran positif, kesempurnaan wanita lain dibanding isterinya, merupakan tantangan bagi kita. Baik tantangan untuk menghadapi problem itu dengan jantan, atau tantangan untuk menjadikan isteri kita seperti dia. Jika memang dalam perjalanan kita tidak bisa mencapainya, berpikir positiflah akan membuat kita menerima keadaannya dengan besar hati, meski tak berarti kita tidak berusaha. Mensyukuri apa yang dimilikinya Dan bukannya berkeluh-kesah tentang apa-apa yang tidak bisa dipunyainya, itu hanya akan membuat hidup jadi sempit.
Wallahu’alam bis showab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar