Notulensi Kajian Online "Menjadi Sahabat Anak"
Menjadi orangtua pada zaman globalisasi saat ini tidaklah mudah. Apalagi jika orangtua mengharapkan anaknya tidak sekadar menjadi anak yang pintar, tetapi juga taat dan salih. Menyerahkan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah tidaklah cukup karena pendidikan agama yang diberikan disekolah hanya 2 jam/minggu. Sehingga sulit mengharapkan anak-anak yang berakhlaq Islam. Mendidik sendiri dan membatasi pergaulan mereka di rumah saja, juga tidak mungkin. Bagaimanapun anak-anak membutuhkan lingkungan sosial untuk belajar, berkembang dan menjalin relasi pertemanan. Membiarkan mereka lepas bergaul di lingkungannya cukup berisiko.
Komnas Perlindungan Anak sendiri mencatat, ada 2.008 kasus kriminalitas yang dilakukan anak usia sekolah sepanjang kuartal pertama 2012. Jumlah itu meliputi berbagai jenis kejahatan seperti pencurian, tawuran, pembunuhan, percobaan bunuh diri serta pelecehan seksual yang dilakukan siswa SD hingga SMA. Angka itu meningkat setiap tahun. Jika 2010 terjadi 2.413 kasus kriminal anak usia sekolah, 2011 yakni sebanyak 2.508 kasus.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak usiap baligh di Indonesia maju cepat menjadi usia 10 tahun. Anak usia pra baligh (7-9 tahun) sudah mulai menunjukkan ciri-ciri anak baligh seperti anak laki-laki yang mendapatkan mimpi basah dan anak perempuan mendapatkan haid pertamanya. Penyebab majunya usia baligh pada usia pra baligh ini ditenggarai disebabkan oleh beberapa sebab, salah satunya adalah makanan fast food yang menstimulasi libido anak dan meningkatkan hormonal. Untuk mencegahnya, kita bisa mengembangkan makanan slow food untuk anak-anak kita. Selain mengetahui proses masaknya makanan tersebut, anak-anak terhindar dari makanan yang menstimulasi libido (ghorizah nau’) mereka yang belum pada usianya.
Penyebab lainnya adalah tingginya stimulasi rangsangan seksual di sekitar anak. Yaitu kondisi anak-anak yang terpapar pornografi baik di televisi, iklan, internet, HP, mode pakaian masa kini, serta pergaulan bebas di lingkungannya. Bahkan iklan televisi rokok juga banyak mengumbar aurat wanita yang tidak ada hubungannya dengan rokok tersebut. Kondisi inilah yang mendorong anak-anak untuk melepaskan dan menyalurkan rangsangan seksualnya diluar koridor Islam, sehingga banyak penelitian yang menunjukkan bahwa anak SD hingga SMA mengaku telah melakukan hubungan suami istri. Hasil survey menunjukkan anak SMP 62,7% sudah tidak perawan. Sangat ironis kondisi anak-anak kita saat ini.
Hampir setiap orangtua mengeluhkan betapa saat ini sangat sulit mendidik anak-anak mereka. Bukan saja sikap anak-anak zaman sekarang yang lebih ‘berani’ melakukan perbuatan yang dilarang di dalam Islam serta ‘sulit diatur’, tetapi tantangan arus globalisasi budaya, informasi, dan teknologi yang turut memiliki andil besar dalam mewarnai sikap dan perilaku anak-anak kita yang jauh dari nilai-nilai Islam. “Anak-anak sekarang beda dengan anak-anak dulu. Anak dulu kan takut dan segan sama orangtua dan guru. Sekarang, anak berani membantah dan susah diatur. Umar bin Khatab pernah menasehati kita untuk mendidik anak-anak kita sesuai dengan zamannya karena mereka kelak akan hidup di zaman yang berbeda dengan diri kita. Artinya mendidik anak zaman sekarang harus dengan ilmu yang up to date bukan sekedar copy paste ‘ilmu’ warisan orangtua dalam mendidik kita dahulu. Justru hal ini akan membuat kita makin jauh dan tidak bisa mengontrol anak-anak kita.
Ketika orang tua sibuk bekerja sehingga mendelegasikan pengasuhan dan pendidikan anak-anak pra baligh kepada orang lain atau orang tua hanya hadir secara fisik saja bukan secara psikologis, maka dipastikan anak-anak akan sulit untuk dekat dengan orang tuanya saat anak usia baligh. Hal ini disebabkan karena orang tua tidak hadir menjadi sahabat anak pada saat mereka membutuhkannya di usia pra baligh itu. Anak-anak usia pra baligh merupakan pondasi dasar bagi penanaman aqidah dan dasar kepribadian Islam yang baik untuk masa depan anak saat dia baligh dan dewasa. Sehingga orang tua tidak terlalu sulit mengarahkan dan menasehati anak baligh mereka. Oleh karena itu orang tua harus berusaha keras dan totalitas dalam mengasuh dan mendidik anak-anak kita dengan menjadi sahabat mereka.
Melalui diskusi dan sharing melalui kajian online Mutiara ini, para narasumber ingin menjabarkan pentingnya peran orang tua mendidik anak-anak mereka dengan pendidikan yang mengandung nilai-nilai Islam. Khususnya bagaimana caranya membentuk kepribadian Islam anak-anak melalui persahabatan antara ibu dengan anak sehingga anak-anak menjadi lebih struggle menghadapi tantangan yang tidak Islami dan merusak anak-anak yang mereka temui di luar rumah. Bagaimanapun orang tua tidak bisa mendampingi anak-anaknya 24 jam diluar rumah. Namun ketika mereka telah menjadikan orang tuanya menjadi sahabat, maka orang tua akan lebih mudah membentuk dan mengarahkan perilaku anak-anak sesuai koridor Islam. Anak-anak akan lebih mudah mengungkapkan perasaan dan masalah yang dihadapinya kepada orang tuanya secara terbuka dan nyaman.
Berikut ini beberapa kiat bagaimana caranya agar orang tua (khususnya Ibu) bisa menjadi sahabat anak :
1. Jadilah pendengar yang baik dan aktif sehingga anak merasa dihargai dan dicintai
2. Libatkan diri kita dalam dunia anak
3. Berikan teguran secara proporsional dan rasional
4. Berikan pujian untuk setiap keberhasilan yang diraih agar anak merasa dihargai dan termotivasi
5. Berikan kepercayaan kepada anak
6. Jadilah orang tua yang menyenangkan untuk anak
7. Jangan malu mengakui kesalahan dan kekurangan diri kita di hadapan anak
8. Ungkapkan rasa sayang secara terbuka kepada anak
Untuk mendengarkan rekaman kajian "Menjadi Sahabat Anak", teman-teman bisa mendownload filenya terlebih dahulu di : yousendit
Sesi diskusi dan tanya jawab :
Q: Pertanyaan utk Bu Shinta, sering
saya mendengar ibu mengeluh karena anaknya lebih percaya orang lain (terutama
teman) dalam mencurahkan isi hati mereka. Padahal ibu tersebut sudah berupaya
sekuatnya membangun hubungan "persahabatan" dengan si anak. Namun,
karena "gelombang" ibu dan anak ini tidak dalam frekuensi yang sama,
hubungan mereka menjadi kurang dekat. Bagaimana jika anak lebih percaya orang
lain daripada orang tua mereka sendiri? Secara psikologi mengapa ini bisa
terjadi?
Kepada Ustazah Titin, di usia berapa
kita bisa mengajak anak utk mengaji formal dalam halaqoh/kajian rutin?
Bagaimana tahap-tahap mengondisikan mereka?
(Mbak Meinilwita Yulia, Jepang)
(Mbak Meinilwita Yulia, Jepang)
A: Ketika orang tua telah berupaya
untuk membangun persahabatan dengan anak namun masih belum bisa mendekatkan
anak, maka perlu diperhatikan dan dievaluasi kembali upaya-upaya apa saja yang
telah kita lakukan sebagai orang tua. Jika kita benar-benar telah menjadi
sahabat anak, maka sudah bisa dipastikan bahwa anak telah merasa nyaman dengan
orang tua mereka. Jika anak saja belum bisa merasa nyaman ketika berkomunikasi
dengan orang tua, bisa kita jadikan tanda bahwa bisa jadi kita belum bisa
menjadi pendengar yang baik dan belum bisa membaca bahasa tubuh anak. Yang
perlu dilakukan adalah mengevaluasi kembali cara komunikasi kita sebagai orang
tua.
Mengenai masalah umur yang cukup
untuk bisa diajak kajian formal dalam halaqoh/kajian rutin maka itu bergantung
pada kesiapan anak itu sendiri. Namun jika kita lihat, umur 10 tahun merupakan
umur yang sudah cukup matang untuk bisa diajak berdiskusi mengenai islam. Akan
tetapi sebetulnya, umur di bawah 10 tahun pun sudah bisa dibiasakan untuk
berdiskusi dan mengkaji islam dengan rutin. Hanya saja memang dibutuhkan upaya
yang lebih keras untuk mendidik anak melalui kajian rutin yaitu dengan bahasa
yang mudah diterima dengan suasana yang menyenangkan bagi anak-anak. Untuk
tahap-tahap nya, perlu dibiasakan dari kecil dengan penyesuaian cara
penyampaian sesuai dengan umur anak.
Dari sini kita bisa melihat adanya proses
yang berkelanjutan sejak dini kepada anak dan memudahkan bagi mereka untuk
memahami dan mengenali islam dengan cara yang benar.Semakin dewasa anak, maka
bisa kita tingkatkan beban pemahaman yang bisa kita berikan. Selain itu juga
diperlukan kepercayaan yang tinggi terhadap orang tua, sehingga anak tidak
segan untuk bertanya ataupun berdiskusi dengan orang tua.
Q: Ustadzah, apa yg harus
dipersiapkan bagi gadis remaja / yang belum memiliki putra. Apa yang harus
dilakukan sekarang agar kelak sukses mendidik anak taat syariah
(Mbak Lidya,Taiwan)
A: Pada dasarnya hal yang sebaiknya
kita perhatikan adalah setiap momen yang harus dipersiapkan jauh-jauh hari.
Semisal jika kita memiliki anak perempuan, maka sudah seharusnya sejak kecil
bahkan sebelum menstruasi dikenalkan mengenai menstruasi, reproduksi wanita, kebersihan
muslimah dan kewajiban-kewajiban muslimah secara baik. Kita upayakan agar
segala informasi yang diperlukan, didapatkan oleh anak pertama kali dari orang
tua mereka dan bukan dari orang lain.
Kemudian kita tekankan dengan jelas
antara hak dan bathil kepada anak. Sehingga nantinya anak mampu untuk menilai mana
yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan oleh mereka. Pengenalan al-Quran
pun harus senantiasa dipelihara misal dengan adanya pembahasan ayat-ayat
al-Quran secara rutin dalam keluarga yang bisa orang tua lakukan ketika shalat
berjamaah. Ayat-ayat tersebut kemudian perlu orang tua kaitkan dengan
fakta-fakta yang terjadi di sekitar anak, sehingga anak pun mampu untuk menghindari
hal-hal yang tidak dibenarkan dalam islam.
Q: Saya melihat seorang sahabat saya rumah tanganya berantakan,dan
anak pun menjadi korban,suaminya sudahmenikah lagi begitu juga dengan teman saya.
Dan anak mereka sekarang 80,5% berubah. Menjadi lebih pendiam ,tertutup,penyendiri,dan
pemalu. Lalu bagaimana caranya supaya anak bisa kembali ceria seperti dulu? Dan
bagaimana cara mengantisipasi kondisi demikian?
( Mbak Via, Malaysia)
A: Perceraian bagaimana pun adalah
keputusan yang tidak hanya berdampak bagi pasangan yang berpisah, tetapi juga
anak-anak mereka. Banyak sekali pasangan yang mengalami proses perceraian namun
tidak memperhatikan kondisi psikologis anak yang menjadi saksi dari peristiwa
tersebut. Sebetulnya sikap anak yang menjadi pendiam, tertutup atau sikap-sikap
negatif lainnya adalah tidak lain merupakan sikap bentuk ketidaksukaan atau
bentuk protes dari anak. Kemudian, efek berikutnya bagi anak bisa berdampak
menjadi rasa bersalah pada anak yang menganggap bahwa mereka yang menyebabkan
orang tua berpisah.
Sebetulnya yang diinginkan anak korban perceraian kedua orang tuanya, ada 3 hal yaitu :
-
1. Anak menginginkan kebebasan untuk bisa bertemu dengan
kedua orang tuanya. Orang tua tidak berhak untuk melarang.
-
2. Anak membutuhkan konsistensi untuk mendapatkan rasa aman.
Dibutuhkan upaya dari orang tua untuk mempertahankan rasa aman pada anak dengan
memberikan kasih sayang dan komunikasi yang baik
3. Orang tua tetap terlibat dalam pengasuhan dan
perkembangan anak walaupun telah berpisah.
Tindakan yang dapat dilakukan orang tua jika
anak mengalami stress akibat perceraian :
- Orang tua harus mampu menjelaskan kondisi yang tengah terjadi dengan bahasa yang mudah dipahami oleh anak, namun perlu ditekankan bahwa walaupun perceraian tidak dapat dihindari rasa aman dan kasih sayang tidak akan berkurang untuk anak.
- Orang tua harus mampu menjelaskan bahwa perpisahan yang dialami oleh orang tua bukanlah disebabkan oleh sang anak, sehingga anak tidak merasa bersalah dan tetap merasakan cinta dari kedua belah pihak.
- Orang tua harus bisa mengasuh anak tanpa berusaha untuk mendominasi satu sama lain yang menyebabkan sang anak kebingungan dan diminta memilih salah satu dari orang tua. Tetap saja kedua orang tua walaupun telah berpisah adalah orang tua bagi anak-anaknya. Dengan cara ini anak akan tetap merasa dihargai dan dicintai.
Q: Untuk ustadzah titin: Bagaimana
cara menjadi orangtua yang bijak dan arif untuk menjadikan anak-anaknya taat
pada syariah dengan kondisi si ayah dan ibu yang sudah bercerai? Kondisi anak
anak ini : yang besar usia 3 tahun dan yang satu 1 tahun dengan kondisi yang
besar tinggal bersama neneknya (nenek dari ibu si anak beserta dengan 2
tantenya) dan yang satu tinggal bersama umi.nya karena uminya bekerja sebagai
pengajar yang lokasinya jauh dari rumah nenek si anak , terima kasih
( Mbak Irenne, Indonesia)
( Mbak Irenne, Indonesia)
A:Dalam keadaan apapun walau kedua
orang tua telah bercerai, kewajiban mengasuh anak tetap dibebankan kepada kedua
belah pihak. Sebagai seorang ibu, perlu dipahamkan bahwa berpisah atau tidaknya
orang tua tidak menjadi halangan bagi sang anak untuk belajar sesuai dengan
syariat islam. Dimana di dalam islam, tidak ada mantan ayah ataupun mantan ibu.
Sehingga kewajiban orang tua kepada anak tidak berubah, begitu pula kewajiban
anak untuk berbakti kepada kedua orang tua. Perlu adanya komunikasi antara
kedua orang tua untuk tetap menjalankan pengasuhan yang berkesinambungan.
Apabila anak tinggal bersama nenek misalnya, maka tetap saja kedua orang tua
harus berkomunikasi dengan nenek atau pengasuh anak untuk tetap mengenalkan
syariat islam kepada anak sejak dini.
Q: Saya ingin bertanya kepada Bu
Shinta pernah membaca artikel bahwa memberikan pujian kepada anak ternyata tak
selamanya baik. Sebuah penelitian mengungkapkan, terlalu memuji anak bisa
merusak kepercayaan anak contoh saja ketika orangtua mengatakan “semuanya
dilakukan dengan baik” ternyata di kemudian hari tidak baik. Bagaimana cara
memuji anak dengan cara yang tepat?
(Mbak Rita, Korea Selatan)
(Mbak Rita, Korea Selatan)
A: memuji adalah hal yang baik,
karena dengan pujian bisa memotivasi dan meningkatkan harga diri anak. Namun
perlu dipahami bahwa pujian tersebut harus diberikan pada saat dan kondisi yang
tepat. Ketika memuji anak, perlu dilihat secara jeli apakah memang benar
tindakan anak. Bukan hanya sekedar memuji "basa-basi" tanpa jelas tujuannya apa. Karena dengan pujian maka sang anak akan berpikir bahwa tindakan
tersebut adalah tepat dan menjadi alasan bagi anak untuk mengulangi tindakan
tersebut. Dengan demikian perlu kita lihat apakah tindakan sang anak memang
patut kita puji atau tidak, sehingga anak belajar untuk dapat menilai tindakan
mana saja yang boleh mereka lakukan dengan rasa percaya diri yang tepat.
Dari sini bisa kita simpulkan bahwa menjadi sahabat bagi anak merupakan peran penting yang harus senantiasa dibangun oleh kedua orang tua, agar anak bisa dengan mudah berkomunikasi dan belajar mengenai syariat islam dengan baik sejak dini. Dibutuhkan upaya pendekatan yang tepat dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh anak. Tidak lepas dari itu semua adalah doa yang harus senantiasa digulirkan oleh kedua orang tua untuk dapat mendidik anak sesuai dengan petunjuk Allah swt. Wallahu’alam bis sawab.
siip mbak Shinta, ditunggu materi2 selanjutnya...semoga selalu bisa ikut kajian online di radio mutiara ini Aamiin...
BalasHapusInsyallah akhir bulan ini ada mbak Fira yang ngisi..Materinya keren mbak, "Dosa Investasi"nya Ust.Dwi Condro..Duh sy sampe gk sabar nunggu kajiannya..Tar sy tag undangannya ke mbak Nunung ya insyallah.. ^_^
HapusJadi kangen dengan kajian2 di mutiara...
BalasHapusKangen mbak QQ juga dengan kajiannya..Juga kangen sama mbak Qq ma obrolan serunya..^_^
HapusJadi kangen dengan kajian2 di Mutiara...
BalasHapus