Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Sumber Tulisan : disini
Keberanian itu dapat terkikis habis bukan karena besarnya tantangan, tapi karena lemahnya kesabaran. Bukan banyaknya kesulitan yang menjadikan manusia tak mampu mencapai kejayaan, tapi karena tidak adanya kesabaran. Kesulitan yang kecil akan terasa besar dan sangat mengganggu manakala kita tidak memiliki kesiapan untuk menghadapinya. Tetapi kesulitan yang sangat besar sekalipun akan terasa lebih ringan jika anak-anak itu telah ditempa jiwanya dan dilatih badannya untuk menghadapinya dengan penuh kesabaran.
Cara mengajar yang menarik memang memudahkan siswa menikmati proses pembelajaran di kelas. Tetapi kita harus memastikan bahwa mereka tertarik kepada materi pelajaran yang kita sampaikan kepada mereka, bukan sekedar tertarik kepada gaya atraktif guru. Salah satu ukurannya, siswa bersemangat melakukan percakapan serius dengan guru maupun teman tentang materi yang diajarkan di kelas, sehingga meningkatkan pemahaman terhadap topik, gagasan atau materi tersebut. Siswa antusias membahas apa yang sedang atau telah dipelajari. Jadi, fokus pembahasannya ada pada materi pelajaran, bukan cerita lucu tentang gurunya.
Di luar itu, betapa pun cara mengajar yang menarik (fun teaching dan sejenisnya) memudahkan siswa memusatkan perhatian, tetapi harus ingat bahwa yang paling pokok untuk kita tanamkan pada diri mereka adalah adab belajar dan kesungguhan menuntut ilmu. Tanpa adab dan kesungguhan, penghormatan terhadap guru maupun ilmu akan rendah, daya tahan belajar akan lemah dan mereka mudah bosan jika guru mengajar dengan cara yang biasa-biasa saja. Mereka juga mudah mengalami kebosanan jika menghadapi tugas rutin yang tidak menarik. Apalagi jika tugas itu rumit, memerlukan konsentrasi tinggi, menjauhkan diri dari kesenangan dan menguras tenaga.
Sesungguhnya tidak ada jalan menuntut ilmu agar sungguh-sungguh matang kecuali dengan menyediakan diri berpayah-payah meraihnya. Kemudahan itu ada bersama kesulitan. Jika siswa dididik, dilatih dan digembleng untuk siap menghadapi kesulitan, maka ia akan sampai pada keadaan dimana ia merasa ringan terhadap apa-apa yang dirasa sangat berat bagi kebanyakan orang. Jadi, yang harus dilakukan oleh guru agar siswa merasa ringan menghadapi tugas bukanlah dengan meringankan tugas, melainkan menyiapkan diri mereka menghadapi kesulitan, bersabar menjalani dan memberi dukungan untuk terus berusaha.
Teringatlah kita pada perkataan Yahya bin Abi Katsir rahimahullah sebagaimana dinukil dalam Shahih Muslim, “Ilmu itu tidak akan diperoleh dengan tubuh yang santai.”
Berkata Imam Asy-Syafi’i rahimahullah: “Tidaklah seorang akan berhasil dalam menuntut ilmu manakala ia menuntutnya dengan rasa bosan atau merasa cukup. Akan tetapi barangsiapa yang menuntutnya dengan pengorbanan, kehidupan yang sempit, dan berkhidmat untuk ilmu tersebut, maka merekalah yang akan berhasil.”
Inilah nasehat dari ‘alim besar yang keutamaannya tak diragukan. Ia menempuh jalan itu. Ia pun mendidik muridnya agar memiliki kesediaan berkorban, berpayah-payah dan memiliki penghormatan yang sangat tinggi terhadap ilmu. Inilah nasehat yang telah nyata hasilnya. Lahir dari iman dan pengalaman yang kuat. Bukan angan-angan dan dugaan semata. Salah seorang muridnya, Imam Ahmad ibn Hanbal rahimahullah, kelak menjadi seorang ‘alim yang sangat disegani ilmunya hingga kini. Dan Imam Ahmad rahimahullah menjadi ‘alim besar melalui kesediaan untuk menempuh kesukaran.
Sabar dalam menuntut ilmu bukan hanya terkait bagaimana seorang anak siap menempuh kesulitan, bertekun-tekun belajar dalam keadaan bugar maupun kurang sehat, pun menghadapi guru yang tak menarik caranya mengajar. Sebab, ia yang harus mencari ‘ilmu. Dan sikap semacam inilah yang harus ditanamkan kuat-kuat oleh guru di sekolah secara terus-menerus, sejak awal mereka masuk sekolah.
Bentuk kesabaran lainnya adalah menahan diri dari keinginan menguasai pelajaran dengan cepat dan beralih ke materi lain sebelum matang. Termasuk dalam hal ini, guru harus menanamkan pada diri siswa untuk mengutamakan membaca secara tertib, mendalam dan tekun (deep reading). Bukan membaca secara cepat (speed reading) karena ingin menguasai pelajaran secara kilat. Jika Anda ingin melahirkan seorang murid yang memiliki penguasaan ilmu secara matang, maka membaca secara mendalam dan tertib merupakan pintu yang harus mereka lalui. Membaca cepat (speed reading) tidak banyak memberi manfaat, kecuali sekedar menumpuk materi pengetahuan. Hanya memiliki banyak informasi melalui membaca cepat justru dapat menjadikan tumpukan informasi itu menjadi sampah (data smog) yang menyulitkan kita berpikir kritis, analitis dan terstruktur.
Keterampilan membaca cepat hanya bermanfaat jika Anda ingin melahirkan petugas pusat layanan informasi yang handal atau pegawai layanan konsumen (customer service) yang cakap. Bukan melahirkan ‘alim yang faqih atau ilmuwan yang brilian. Keterampilan membaca cepat juga bermanfaat untuk mengesankan diri sangat cerdas sehingga para peserta training merasa diri mereka bodoh dan tertinggal. Di luar itu, membaca cepat hanya patut kita lakukan untuk tujuan inspeksional, yakni mengetahui gambaran kasar isi buku sebelum memutuskan membeli.
Mari kita ingat firman Allah subhanahu wa ta’ala:
ورتل القرآن ترتيلا
“Dan bacalah Al Qur'an itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al-Muzammil, 73: 4).
Perintah ini terasa lebih kuat lagi tatkala mengingat firman Allah ‘Azza wa Jalla:
لا تحرك به لسانك لتعجل به
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.” (QS. Al-Qiyaamah, 75: 16).
Jika ingin mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana seharusnya membaca, karya klasik Mortimer J. Adler & Charles van Doren bertajuk How to Read a Book patut Anda pertimbangkan.
Kembali pada perbincangan tentang bersabar menuntut ilmu. Mari kita ingat sejenak sabda Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّمَا العِلمُ بِالتَّعَلُّمِ.
"Sesungguhnya ilmu itu semata-mata diperoleh dengan dituntut (mempelajarinya).” (HR. Abu Darda’, dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Al-Silsilah Ash-Shahihah).
Mari kita ingat pula firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an surat Al-A’raaf ayat 204, “Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nahsir As-Sa’di menjelaskan dalam tafsirnya bahwa perintah ini berlaku umum bagi semua orang yang mendengar al-Qur’an, kitabullah dibaca, dia diperintahkan untuk diam dan mendengarkan. “Dan perbedaan di antara keduanya adalah bahwa diam secara zahir adalah dengan meninggalkan pembicaraan dan tidak menyibukkan diri dengan sesuatu yang membuatnya tidak mendengar. Adapun mendengarkan, maka maksudnya adalah menyimak dengan membuka hati dan merenungkan apa yang didengar,” kata Syaikh As-Sa’di lebih lanjut.
Serupa itu, bekal penting yang harus kita tanamkan kepada murid, terutama apabila mereka telah memiliki kecintaan belajar adalah kesediaan sekaligus kesungguhan untuk mendengarkan dengan baik dan memperhatikan ucapan gurunya. Jika sikap ini tumbuh dengan kuat dalam diri murid, maka guru yang tak mampu bersuara lantang, akan terdengar nyaring suaranya. Mereka tetap memperhatikan penuh kesungguhan. Guru yang monoton tetap tidak kehilangan daya tarik untuk diperhatikan penjelasannya. Sementara guru yang caranya menjelaskan sangat bagus, akan lebih memudahkan murid meraih ilmu.
Catatan sederhana ini semoga dapat menjadi pengingat bagi kita semua bahwa sudah saatnya kita menata kembali arah pendidikan. Cara mengajar memang penting. Tapi adab belajar jauh lebih besar peranannya. Cara menerangkan suatu pelajaran memang harus kita kuasai. Tapi mendidik, melatih dan menggembleng mereka untuk memiliki sikap belajar yang baik akan menjadi bekal yang sangat berharga agar kelak mereka –murid-murid kita—dapat belajar dari siapa pun, sejauh akhlaknya baik dan aqidahnya lurus, meski cara mengajarnya membosankan. Lebih penting lagi, sesungguhnya menetapi adab Islam itu merupakan salah satu pintu barakah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Nah, sudahkah kita melatih mereka sabar dalam menuntut ilmu?
Inilah pertanyaan yang perlu kita jawab sembari merenungkan hadis berikut, “Ketahuilah! Sesungguhnya dalam kesabaran terhadap apa yang tak disukai, terdapat kebaikan yang besar. Dan sesungguhnya pertolongan (dari Allah) bersama kesabaran, sedang kelapangan bersama kesukaran, dan kesulitan bersama kemudahan.” (HR. Ahmad).
Semoga Allah Ta’ala menolong kita.
Sabar Menyalin Kitab
Belajar dari kegigihan salafush shahih menuntut ilmu, ada yang perlu kita renungkan. Mereka bukan hanya bersedia berpayah-payah menempuh perjalanan jauh. Mereka juga tampak kegigihannya dengan kesungguhannya menyalin.
Saya berharap, tentang ini dapat saya lanjutkan pembahasannya pada waktu-waktu yang akan datang dengan mengedit catatan ini.
*** Ini adalah tulisan serial ta'dib yang ke 8.
Saya berharap, tentang ini dapat saya lanjutkan pembahasannya pada waktu-waktu yang akan datang dengan mengedit catatan ini.
*** Ini adalah tulisan serial ta'dib yang ke 8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar