Saya
adalah anak sulung dari empat bersaudara, dengan dua adik perempuan dan satu
adik laki-laki. Awal mula saya mengenal kerudung yaitu saat saya duduk di
bangku kelas 6 Sekolah Dasar (SD), tepatnya tahun 1994. Alhamdulillah ini
bermula saat kedua orang tua saya diundang menunaikan ibadah haji tahun 1994.
Saat itu Ibu saya belum berkerudung, tetapi mulai belajar pakai kerudung saat
hendak berangkat haji. Sepulangnya Ibu dari berhaji, Alhamdulillah mulai
membiasakan memakai kerudung meski saat itu masih berupa kain segiempat yang
diikat segitiga sekedar menutupi rambut saja. Kadang juga terlihat menggunakan
dalaman kerudung bulat yang kemudian ditutupi selendang dan dipercantik dengan
bros. Damai saya melihat penampilan baru Ibu. Terlihat santun, cantik dan anggun.
Tak
lama kemudian, Ibu mulai menyuruh saya untuk belajar menggunakan kerudung. Respon
pertama saya saat itu? Marah dan kesal!. Ya, tahun 1994 jumlah wanita yang
memilih berkerudung tidak sebanyak sekarang. Menurut saya, hanya Ibu-Ibu dan
nenek-nenek saja yang pantas dan harus berkerudung. Peraturan ini tidak boleh
berlaku buat anak-anak dan remaja yang sedang bertumbuh dan menikmati masa
mudanya. Saya benar-benar menentang keras nasehat dan perintah Ibu saya.
“Pokoknya saya tidak mau berkerudung, titik”, begitu ultimatum saya dihadapan
Ibu. Dampaknya hubungan saya dan Ibu meregang. Ditambah satu momen yang
berharga dan selalu saya ingat sampai sekarang.
Kisah
ini bermula saat Ibu terus memaksa saya untuk berkerudung dan selalu berhasil
saya tolak. Hingga suatu hari Ibu menyuruh saya memakai kerudung dengan ancaman
akan menggunduli rambut saya. Saya tidak terlalu memperdulikannya. Ibu
menyiapkan kerudung yang harus saya pakai. Sebuah kerudung segitiga yang
bertali dan tinggal dililit menutupi kepala dan sebagian dada. Ibu benar-benar
marah dan mengancam saya. Saya terpaksa memakainya dengan berat hati.
Awal
memakai kerudung, saya merasa risih, panas, gatal dan aneh. Ya, sepanjang
perjalanan ke sekolah dan tiba di sekolah semua mata memandang ke arah kerudung
biru itu. Saat itu seragam SD yang saya pakai masih berlengan pendek dengan rok
merah selutut. Saya merasa jadi mahluk teraneh di sekolah itu. Hanya saya
satu-satunya yang pakai kerudung di lingkungan komplek SD saya. Semua
mendatangi saya menanyakan benda apa yang menempel di kepala saya itu. Duh
rasanya malu sekali dan ingin kabur sekolah saat itu juga. Saya tidak berani
keluar kelas dan hanya duduk menundukkan kepala saya di meja. Hilang keceriaan
saya dan malas mengobrol dengan teman-teman. Saya benar-benar ketakutan
kehilangan teman-teman saya. Ingin rasanya menangis, tapi berusaha saya tahan.
Saat
bel sekolah tanda pelajaran terakhir berbunyi, saya mulai buru-buru membereskan
tas dan segera lari pulang tanpa memperdulikan ajakan teman untuk pulang
bersama. Pikiran saya hanya satu, ingin cepat sampai di rumah dan mencopot
kerudung aneh ini. Saya segera mencari Ibu dan mengatakan kalau besok saya
tidak mau berkerudung lagi. Ibu marah besar karena tidak mau mendengarkan
nasehatnya. Ibu lalu beranjak mengambil gunting dan menyuruh saya duduk untuk
digunting rambutnya. Saya segera berlari ke kamar dan berteriak serta memohon
Ibu tidak menggunduli rambut saya. Membayangkannya saja sudah membuat saya
ingin menangis. Ibu memarahi saya sambil berkata kalau rambut saya gundul pasti
saya malu dan mau tidak mau pakai kerudung untuk menutupinya.
Ibu
memukuli saya dengan kemoceng dan berhasil memotong rambut saya hingga tak
beraturan bentuknya. Ini adalah kejadian traumatis buat saya. Tak bisa saya
lupakan hingga sampai sekarang. Saya menangis dan mengurung diri di kamar.
Hampa dan sepi. Saya sangat membenci Ibu saat itu. Entah apa yang di pikiran
Ibu, mengapa tega berbuat demikian dengan anak kandungnya. Malamnya saya pergi
ke rumah om dan tante saya yang berada di atas rumah saya. Sambil menangis saya
ceritakan semuanya. Om dan tante merasa kasihan pada saya. Om segera menawarkan
diri untuk merapikan rambut saya karena terbiasa mencukur rambut anak-anaknya.
Setelah selesai, saya berkaca. Rambut saya sekarang pendek meski tidak seperti
potongan laki-laki. Saya sedikit terhibur. Setelah itu kembali ke kamar lagi.
Keesokan
harinya saya berangkat sekolah menggunakan topi sekolah yang berwarna merah. Terlihat
mata saya yang sembab, tapi saya tidak pernah menceritakan kisah ini pada
teman-teman saya. Mereka hanya memuji kalau rambut saya bagus dan terlihat
lebih cantik. Saya hanya tersenyum menahan luka di hati. Ini adalah tahun
terakhir saya duduk di kelas 6 SD. Tidak lama kemudian saya ujian kelulusan dan
harus melanjutkan SMP. Kedua orang tua menyuruh saya sekolah di pesantren agar
mendapatkan bekal ilmu agama yang cukup dan mau berkerudung. Meski awalnya
menolak, saya harus menerimanya. Saya sebenarnya sempat terpikir untuk hidup
mandiri dan jauh dari orang tua karena setelah peristiwa itu hati saya masih
terluka.
Kedua
orang tua saya memasukkan saya ke sekolah Khadijah Surabaya dan memasukkan ke
asrama juga. Meski terluka, saat mereka pulang ke rumah dan meninggalkan
sendiri di asrama, saya merasa kehilangan juga. Saya benar-benar harus
beradaptasi di asrama putri dan sekolah yang semua murid perempuannya
berkerudung. Sedikit demi sedikit, saya mulai menerima kerudung ini. Saya tidak
merasa aneh lagi karena saya tidak sendiri. Disekolah itu, saya banyak menimba
ilmu agama seperti bahasa Arab, Sejarah Islam (tarikh), Ilmu Fiqh dan lainnya.
Teman-teman asrama dan sekolah bagaikan keluarga juga saudara bagi saya. Kami
merasa sejiwa dan seiman. Benar kata guru-guru disana kalau berkerudung itu
adalah kewajiban muslimah yang Allah perintahkan di Surat An-Nuur ayat 31,“...dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung kedadanya...”. Secara sadar saya menerimanya dengan sepenuh hati
karena Allah yang menyuruhnya dan Allah akan menjaga kemuliaan muslimah lewat
kerudung ini.
Saya
menyadari bahwa Ibu tidak sepenuhnya salah menyuruh saya berkerudung, hanya saja
Ibu harus melakukan pendekatan yang memotivasi saya terlebih dahulu. Setelah
peristiwa pemotongan rambut dan masuknya saya di asrama, Ibu menyesal dengan
tindakannya tersebut. Jarak yang terpisah antara Madiun dan Surabaya membuat
hubungan saya dan Ibu kembali menghangat. Apalagi saya banyak belajar akan arti
pentingnya kedua orang tua saat terpisah jauh di asrama. Saya selalu merindukan
kehadiran Ibu. Saya sudah memaafkan Ibu yang memotong rambut saya dan mencoba
mendoakan agar Allah senantiasa menuntun Ibu menjadi muslimah yang dekat dengan
Allah. Doaku terkabul, Ibu semakin sempurna menutup auratnya dengan kerudung
panjang. Adikku sekolah di MTS Madiun dan menggunakan kerudungnya setiap hari.
Adik tidak merasa berat karena Ibu selalu memotivasi dan melakukan pendekatan
yang penuh kasih sayang. Kami semua berproses menjadi lebih baik.
Alhamdulillah, kami sangat mensyukurinya. Banyak hikmah yang kami petik dari
perjalanan hidup kami yang berharga ini.
Sejak
saat itu saya tidak pernah melepaskan kerudung saya kemanapun. Meski waktu saya
sekolah SMP dan SMU di sekolah negeri Kalimantan Timur yang belum banyak murid
perempuannya yang pakai kerudung, saya tetap teguh memakainya. Ibu menjahitkan
seragamku dan memberikan saya kerudung yang serasi. Saat hendak ujian EBTANAS
SMU dimana siwa yang berkerudung dipersulit mengikuti ujian jika bersedia
melepas kerudungnya untuk foto di ijazah. Alhamdulillah kedua orang tua saya
siap membela dan mendampingi saya. Setelah melobi dan menyampaikan baik-baik
beserta orang tua lainnya yang anaknya menggunakan kerudung di hadapan kepala
sekolah dan guru SMU. Alhamdulillah berkat pertolongan Allah, mereka
mengizinkan kami untuk mengambil foto ijazah kami dengan kerudung ini.
Saat
kuliah di Malang, saya mengikuti banyak kajian keislaman di kampus. Disana saya
menyadari bahwa meski berkerudung saya masih menggunakan celana jeans dan kaos
yang membentuk lekuk tubuh saya. Guru ngaji saya mulai menasehati saya dengan
penuh kasih sayang. Alhamdulillah, saya dengan senang hati mengganti celana
jeans dan kaos ketat dengan rok dan baju panjang serta kerudung panjang yang
menutupi hampir pinggang saya. Semua membutuhkan proses yang sangat panjang dan
saya menikmati hikmah di setiap peristiwa hidup saya. Bersyukur sekali dengan
jalan hidup yang Allah tentukan buat saya.
Setelah
menikah, saya diminta suami untuk menyempurnakan lagi penampilan saya dengan
menggunakan kerudung untuk menutupi dada serta jilbab berupa gamis panjang yang
menutupi seluruh aurat saya. Suami menyampaikan nasehatnya dengan memberikan
saya surat cinta dari Allah di Surat Al-Ahzab ayat 59. Bunyi surat itu adalah “Hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu,
anak-anak perempuanmu, dan istri-istri kaum mukmin: “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. “Yang demikian itu supaya mereka
mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Saya
bersyukur memiliki suami yang penyayang dan selalu mengkaji Islam bersama
keluarganya. Saya makin memantapkan untuk memakai kerudung dan jilbab hingga
saya merantau menemani suami sekolah ke Korea Selatan. Di sini saya tampak
asing dan ghuroba, karena menggunakan kerudung dan jilbab di tengah-tengah
perempuan Korea yang terbiasa membuka auratnya di depan umum. Alhamdulillah
putri saya yang sudah saya biasakan menggunakan kerudung sejak usia 1 tahun,
sangat mencintai kerudungnya di Korea. Meski sering dijauhi teman-temannya
karena menggunakan kerudung dan sering diminta gurunya untuk melepas kerudung
saat musim panas tiba, tak pernah mau dia melepaskannya.
Saya
pernah berpesan kepadanya : “panasnya summer
itu belum seberapa nabila, jika dibandingkan panasnya api neraka. Allah sayang
sama anak yang selalu pakai kerudung dan menyiapkan rumah serta apapun yang
nabila suka di Surga sebagai hadiahnya“.
Dia semakin semangat untuk terus menggunakan kerudung meski saya tahu
pasti dia kepanasan. Alhamdulillah, saya melihat kebiasaan mengenalkan nabila
menutup aurat sejak bayi, membuat dia bangga dan percaya diri dengan identitas
keislamannya. Dia merasa kerudung itu sudah melekat dalam dirinya. Saya
bersyukur dengan keistiqomahan Nabila menggunakan kerudung meski tidak ada saya
di sampingnya. Semoga kelak ketika dia tumbuh menjadi muslimah, akan tetap
istiqomah dengan kerudung dan jilbabnya. Aamiin
* Tulisan ini bisa ditemukan di dalam Buku "Ini aku, Untuk-Mu"
Pemesanan bisa melalui Mas Zulfikar : 0852-5076-7076
![]() |
Cover Buku Ini aku, Untuk-Mu |
Assalamualaikum Ukhti Shinta..., saya baca postingan ukhti dari madiun yah.. saya juga,..kalau pulang madiun hyuks ketemuan. pengen menimba ilmu sama ukhti. semoga Allah memberikan kesempatanNYA. Amin Ya Robb.... Salam, -Diana-
BalasHapus