![]() |
Saat diwawancara oleh Net TV (dok.pribadi) |
Dulu aku tidak berani bermimpi. Aku hanyalah
seorang gadis biasa-biasa saja. Bukan seseorang yang cerdas dan berprestasi.
Nilai sekolahku hanya pas-pasan. Tidak ada yang istimewa. Bahkan saat duduk di bangku SMA, masih belum
memiliki gambaran yang jelas akan masa depanku. Bingung mau jadi apa? Kerja
dimana? Hendak kuliah dimana setelah lulus SMU?. Semua tampak kabur. Masih
teringat jelas saat aku mengambil bimbingan belajar (bimbel) intensif di kota
Malang, meninggalkan kota tercinta setelah lulus SMU. Orang tua sengaja
menyuruhku merantau ke kota besar supaya masa depanku menjadi cerah. Aku
meninggalkan segala kenyamanan untuk hidup mandiri dan tinggal di rumah kost.
Setiap sore hari, aku harus berangkat ke
bimbel mengerjakan ratusan soal-soal yang membuatku makin jenuh dan ingin lari
dari segala rutinitas yang melelahkan pikiranku. Hari-hariku hanya diisi
mengerjakan soal dan soal. Kerinduanku pada keluarga dan teman-teman sangat
membuncah. Meski setiap hari belajar berlatih mengerjakan soal-soal latihan
Ujian Masuk Universitas Negeri (UMPTN), rasanya kemampuanku tidak bertambah.
Aku merasa tertekan. Rasanya tak sanggup menjalani hari-hariku yang sangat
membosankan ini.
Hari yang kutunggu tiba, aku berjuang keras
selama dua hari menyelesaikan semua soal-soal UMPTN. Rasanya sangat mencekam.
Aku tidak yakin bakal lolos karena rasanya sangat susah sekali. Hanya tawakal
dan doa yang selalu aku panjatkan setiap waktu agar aku bisa lulus UMPTN.
Sambil menunggu hasil pengumuman UMPTN, aku mencoba mengikuti ujian D3 Analisis
Kimia di Unibraw.
Hari pengumuman UMPTN sudah tiba. Aku lantas
mencari surat kabar harian Malang yang paling pagi untuk melihat hasil kerja
kerasku selama ini. Perasaanku campur aduk dan gelisah tak menentu. Aku
menyusuri hingga tiga kali mencari nomor ujianku disana. Masih belum ada. Aku
tidak putus asa. Lantas pergi ke warnet membuka website Unibraw dan mencocokan
nomor ujianku. Hasilnya tetap nihil. Aku sudah tidak tahan, tangisku pecah
seketika. Air mata mengalir deras tak terbendung lagi. Sulit mempercayai
kenyataan pahit kalau aku telah gagal di UMPTN tahun 2000 ini.
Setelah bisa menenangkan diri, aku menelpon
kedua orang tuaku. Aku bisa merasakan kesedihan dan kekecewaan orang tuaku.
Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ibuku menyuruhku sabar dan menghiburku di
ujung telpon sana. Ibu bisa merasakan betapa hancurnya perasaanku saat itu.
Bapak menyuruhku menunggu hasil pengumuman D3 Analisis Kimia dan meminta aku
tetap optimis. Meski tidak mudah, aku berusaha menghibur diriku sendiri. Aku
yakin bisa lolos di tes D3 Analisis Kimia ini.
Pengumuman itu akhirnya keluar juga. Dengan
semangat, aku datang ke kampus Unibraw untuk melihat hasil pengumumannya. Aku
tertunduk lemas saat mengetahui kalau aku tidak lolos di tes tersebut. Orang
tuaku berusaha menguatkan diriku supaya tidak terlalu sedih berlebihan. Mereka
meminta aku untuk mencoba tes lainnya. Berbekal informasi dari internet dan
bertanya dengan kerabat di Surabaya. Akhirnya aku memantapkan langkahku menuju
Kota Pahlawan demi mengikuti tes Desain Grafis di Unair. Hasil pengumaman tes
keluar beberapa minggu kemudian. Aku tertunduk lemas saat membaca surat pengumuman
tes Desain Grafis yang dikirimkan lewat pos. Aku gagal untuk yang kesekian
kali. Aku putus asa karena tidak tahu harus berbuat apa-apa. Aku merasa masa
depanku buram. Bapak terus menyemangatiku untuk mengambil sekolah di
Universitas swasta saja.
Awalnya aku sempat menolak karena ingin
kuliah di perguruan negeri agar tidak membutuhkan biaya pendidikan yang besar. Tidak
ingin menambah kesusahan orang tuaku. Tapi beliau menyakinkanku untuk tidak
terlalu khawatir dengan masalah biaya. Asalkan aku bisa kuliah, mereka sudah
senang. Bapak menganggap aku sebagai harapan masa depan keluarga. Beliau tidak
ingin aku hanya lulusan SMU saja seperti bapakku. Pokoknya ingin aku bisa
meneruskan harapan mereka. Biarlah bapak Ibu tidak kuliah, asalkan anak-anaknya
bisa kuliah dan sukses semuanya. Harapan semua orang tua kepada setiap
anak-anaknya. Aku terharu dan terselip rasa bersalahku karena belum bisa membanggakan
mereka.
Beberapa hari kemudian, aku mencari
informasi dan brosur universitas Muhammadiyah Malang (Unmuh). Setengah hati aku
mengisi formulir pendaftaran di Unmuh. Masih bingung untuk memilih jurusan apa.
Bapak menawarkanku untuk mengambil jurusan psikologi. Sesuatu yang asing buatku.
Bagaimana prospek pekerjaan kedepannya?. Bapak hanya bilang kalau psikolog itu
masa depannya bagus karena selalu dibutuhkan di setiap kantor untuk menyeleksi
karyawan.
Jujur aku masih belum yakin dengan pilihan
kuliah yang ditawarkan Bapak. Aku benar-benar bingung. Pilihanku hanya dua,
tetap memilih kuliah atau tidak sama sekali. Ah, aku tidak mau jadi
pengangguran. Akhirnya dengan terpaksa, aku memilih jurusan psikologi itu.
Alhamdulillah setelah mengikuti serangkaian tes, aku berhasil lolos. Terselip
rasa syukur ketika namaku tercantum di papan pengumuman. Akhirnya aku bisa
kuliah juga.
Meski gamang, aku berusaha memantapkan hati.
Bagaimanapun hidup harus terus berjalan. Aku akan mencoba menjalani sepenuh
hati dan yakin pasti Allah akan memberikanku kemudahan. Demi masa depan dan
ingin membahagiakan kedua orang tua, maka aku memohon ridho dan doa Ibu Bapak
untuk bisa menjalaninya. Bismillah, aku pun melangkah. Kuakui langkah pertama
selalu berat dijalani. Namun saat berhasil melewatinya sekali, maka langkah
selanjutnya akan terasa lebih ringan dan mantap.
Aku membuktikan komitmenku kepada orang
tuaku untuk bersungguh-sunguh kuliah. Aku tidak ingin mengecewakan mereka lagi.
Aku tidak pernah absen kuliah, kecuali sakit. Tugas individu dan kelompok tak
pernah terlewatkan. Mencoba berkosentrasi di kelas. Bolak-balik ke perpustakaan
dengan setumpuk buku di tangan. Begadang semalam demi mengerjakan tugas dan
persiapan ujian. Itulah yang aku lakukan saat menjalani hari demi hari hingga
satu semester terlewati.
Hari yang kunantikan tiba. Hasil kuliah
selama satu semester sudah ada di tangan. Deg-degan
aku membukanya. Perlahan aku buka kertas hasil belajar semester itu.
Alhamdulillah, puji syukur nilai-nilai mata kuliah sangat memuaskan sekali.
Rata-rata mendapatkan nilai A dan B. Tidak sabar ingin menelpon Bapak dan Ibu
untuk mengabarkan berita bahagia itu.
Ada rasa haru, ketika Bapak Ibu merasa
bahagia mengetahui nilai IPK-ku memuaskan dan tidak ada mata kuliah yang harus
aku ulang. Ada rasa bangga saat bisa mempersembahkan hasil kerja kerasku kepada
mereka. Rasanya tidak bisa dinilai dengan apapun. Inilah titik awal kebangkitan
dari keterpurukanku. Keberhasilan melewati keterpurukan telah menjadi sumber
motivasi yang kuat dalam diri ini. Aku memiliki semangat untuk terus menapaki
kuliahku hingga selesai.
Tahun 2004, aku berhasil menamatkan
pendidikan psikologiku di Unmuh tepat empat tahun masa belajarku. Aku merasa
bersyukur sekali. Selain lulus dengan nilai yang cukup tinggi, aku juga aktif
di berbagai kegiatan kemahasiswaan. Aku mengikuti kegiatan himpunan di
fakultas, sering mengikuti kegiatan di Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan menjadi
asisten Laboratorium Psikologi. Aku hampir tidak percaya bisa berhasil melewati
semuanya hingga selesai. Aku merasa menjadi seorang yang berguna karena bisa membahagiakan
kedua orang tuaku, menjadi teladan bagi ketiga adikku dan bermanfaat bagi
sekitarku.
Lulus kuliah, aku melamar kerja di
Balikpapan. Aku bekerja di sebuah biro psikologi sebagai asisten psikolog anak
di Sekolah dasar Islam Terpadu (SDIT) favorit di kotaku. Psikolog ini telah
membuatku jatuh cinta dengan profesi psikolog anak. Aku belajar banyak hal dari
beliau. Buku-bukunya aku pinjam untuk aku pelajari. Aku tekun berlatih
melakukan pengetesan secara langsung.Tiap hari mencoba mendiskusikan berbagai
kasus hingga suatu hari aku berfikir untuk meneruskan pendidikan S2 psikologi
anak di Unversitas Padjajaran (Unpad) Bandung. Aku mencoba mengutarakan
keinginanku pada orang tuaku, mereka tampak setuju.
Berkat doa dan ridho orang tuaku, aku mantap
pergi ke Bandung untuk mewujudkan impianku jadi psikolog anak di Unpad. Sempat
minder ketika mengikuti ujian tes ternyata hampir semua berasal dari
universitas Negeri dan swasta favorit di Bandung. Ah, sudah kepalang tanggung,
bismillah aku mencoba tetap menjalani semua skenario dalam hidupku. Satu keyakinanku
kalau orang tuaku meridhoiku, insyallah Allah akan meridhoi jalan hidupku juga,
aamiin. Alhamdulillah setelah menunggu beberapa minggu, aku mendapatkan surat
pengumuman ujian masuk tersebut. Tertera namaku disana, Alhamdulillah sujud
syukur kepada Allah yang telah memberikan berkah luar biasa ini.
Kuliah di Unpad, berarti ini kali ketiga aku
merantau ke pulau Jawa untuk menuntut ilmu. Pertama mengenyam pendidikan SMP di
Surabaya dan kedua kuliah S1 di Malang. Alhamdulillah, tak pernah terpikirkan
sebelumnya bakal melangkah sejauh ini. Jika bukan doa dan ridho Allah, tak
mungkin bisa kulalui semudah ini. Tepat bulan Juli tahun 2005, aku memulai
semester awal di Unpad. Jadwal kuliah yang sangat padat dan berat, khususnya
untuk jurusan psikologi anak. Ada banyak praktek kerja berupa pengetesan
bersama anak-anak dan orang dewasa lainnya. Pergi pagi dan pulang petang. Setiap hari harus mengerjakan tugas-tugas
perkuliahan yang menguras tenaga dan pikiran.
Libur semester pertama, aku memutuskan
menikah di kota tercinta bersama seorang teman SMU. Tidak ada bulan madu.
Selesai walimahan (resepsi pernikahan), langsung kembali melanjutkan padatnya
kuliah. Alhamdulillah dua minggu setelah menikah, Allah menitipkan amanah bayi
di rahimku. Hari-hari selama 9 bulan aku kuliah selalu ditemani anakku. Meski
sempat mengalami morning sickness
setiap pagi hingga selalu terlambat ke kelas. Tetapi Alhamdulillah aku masih
tetap semangat. Kecintaanku pada psikologi anak membuatku bisa melewati semua
jatuh bangun, susah senang, suka duka selama menjalani kuliah di Unpad.
Setelah anakku lahir melalui operasi Caesar, aku sempat izin 2 bulan untuk
fokus mengurus anak dan pemulihan kesehatan setelah Caesar. Usia anakku 3
bulan, aku meminta bantuan pengasuh yang sangat menyayangi anakku untuk
menemani anakku selama aku pergi kuliah. Beliau adalah seorang nenek berusia 70
tahun yang lebih sering kuanggap sebagai nenekku sendiri. Anakku pun mendapat
kasih sayang layaknya seorang cucu baginya.
Tidak mudah memang saat harus membagi semua
kewajibanku mengurus rumah tangga, mengurus buah hati dan menyelesaikan
kuliahku. Benar-benar dibutuhkan saling pengertian dengan suami untuk bisa
menyeimbangkan semua tanggung jawabku. Aku menggunakan skala prioritas untuk
mengatur semuanya. Anak dan suamiku tetap prioritas utama. Alhamdulillah, suami
selalu membantuku. Kadang menemaniku hingga larut untuk menyelesaikan laporan
praktek kerja atau mengantarkan konsultasi tesis dari kampus satu ke kampus
lainnya. Kalau suami tidak meridhoiku kuliah sambil mengurus anak, mungkin
takkan semudah ini Allah membuka setiap kesulitan yang aku hadapi. Tak jarang
aku harus bekerja ekstra keras dibanding teman-teman yang masih single. Semua harus dijalani dengan
kesabaran tingkat tinggi, disiplin dan keyakinan yang besar akan bisa terlewati
semuanya.
Tahun 2009, suami diterima sekolah doctor
di Universitas Korea Selatan. Aku harus mengurus rumah, buah hati dan
kuliah tanpa didampingi suami tercinta. Buatku ini adalah ujian terberat dalam
hidupku. Tidak mudah melewati hari-hari mengurus buah hati dan kuliah. Tidak
ada lagi suami yang bisa setiap waktu menemaniku menyelesaikan tugas-tugas
kuliah, mengantarkan konsultasi dan seorang teman diskusi yang paling sabar
serta mengetahui pikiranku. Selama setahun, aku harus melewati semuanya
sendiri.
Tahun 2010, dosen pembimbing yang mengerti
beratnya kondisiku memberikan kesempatan untuk segera sidang tesis.
Alhamdulillah, sidang tesis berjalan lancar dan dimudahkan Allah. Semua berkat
doa dan ridho dari suami, kedua orang tua, mertua dan seluruh teman-teman
tersayang. Alhamdulillah, atas izin Allah Yang Maha Penyayang akhirnya aku
diberi kesempatan untuk mewujudkan impian menjadi psikolog anak. Tak akan
pernah aku lupakan semua perjalanan hidupku dari aku yang tidak berani bermimpi
hingga menjadi sekarang ini. “Man Jadda
Wa Jadda”, siapa yang bersungguh-sungguh, ia akan berhasil . Alhamdulillah
Maret 2010 aku berangkat ke Korea Selatan menemani suamiku sekolah. Saatnya aku
mendampingi suamiku menggapai impiannya. Semoga Allah meridhoi langkah kami,
aamiin.
* Tulisan diatas awalnya berjudul "Dahsyatnya Ridho Orang Tua" yang kemudian diubah judulnya menjadi "Mimpi Seorang Gadis Biasa"
Judul : Berani Bermimpi
Penulis : Elie Mulyadi dkk
Penerbit : Mizania; PT Mizan Pustaka
Cetakan : I, Februari2014
Tebal : 123 Halaman
Buku ini dapat dibeli di toko buku Mizan dan toko buku terdekat
Buku ini dapat dibeli di toko buku Mizan dan toko buku terdekat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar