Laman

  • Home
  • About me
  • My Books
  • My Bussines
  • Lovely Hafidz
  • Lovely Nabila

Senin, 23 Maret 2015

Mimpi Seorang Gadis Biasa


Saat diwawancara oleh Net TV (dok.pribadi)


Dulu aku tidak berani bermimpi. Aku hanyalah seorang gadis biasa-biasa saja. Bukan seseorang yang cerdas dan berprestasi. Nilai sekolahku hanya pas-pasan. Tidak ada yang istimewa.  Bahkan saat duduk di bangku SMA, masih belum memiliki gambaran yang jelas akan masa depanku. Bingung mau jadi apa? Kerja dimana? Hendak kuliah dimana setelah lulus SMU?. Semua tampak kabur. Masih teringat jelas saat aku mengambil bimbingan belajar (bimbel) intensif di kota Malang, meninggalkan kota tercinta setelah lulus SMU. Orang tua sengaja menyuruhku merantau ke kota besar supaya masa depanku menjadi cerah. Aku meninggalkan segala kenyamanan untuk hidup mandiri dan tinggal di rumah kost. 


Setiap sore hari, aku harus berangkat ke bimbel mengerjakan ratusan soal-soal yang membuatku makin jenuh dan ingin lari dari segala rutinitas yang melelahkan pikiranku. Hari-hariku hanya diisi mengerjakan soal dan soal. Kerinduanku pada keluarga dan teman-teman sangat membuncah. Meski setiap hari belajar berlatih mengerjakan soal-soal latihan Ujian Masuk Universitas Negeri (UMPTN), rasanya kemampuanku tidak bertambah. Aku merasa tertekan. Rasanya tak sanggup menjalani hari-hariku yang sangat membosankan ini. 

Hari yang kutunggu tiba, aku berjuang keras selama dua hari menyelesaikan semua soal-soal UMPTN. Rasanya sangat mencekam. Aku tidak yakin bakal lolos karena rasanya sangat susah sekali. Hanya tawakal dan doa yang selalu aku panjatkan setiap waktu agar aku bisa lulus UMPTN. Sambil menunggu hasil pengumuman UMPTN, aku mencoba mengikuti ujian D3 Analisis Kimia di Unibraw. 

Hari pengumuman UMPTN sudah tiba. Aku lantas mencari surat kabar harian Malang yang paling pagi untuk melihat hasil kerja kerasku selama ini. Perasaanku campur aduk dan gelisah tak menentu. Aku menyusuri hingga tiga kali mencari nomor ujianku disana. Masih belum ada. Aku tidak putus asa. Lantas pergi ke warnet membuka website Unibraw dan mencocokan nomor ujianku. Hasilnya tetap nihil. Aku sudah tidak tahan, tangisku pecah seketika. Air mata mengalir deras tak terbendung lagi. Sulit mempercayai kenyataan pahit kalau aku telah gagal di UMPTN tahun 2000 ini. 

Setelah bisa menenangkan diri, aku menelpon kedua orang tuaku. Aku bisa merasakan kesedihan dan kekecewaan orang tuaku. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ibuku menyuruhku sabar dan menghiburku di ujung telpon sana. Ibu bisa merasakan betapa hancurnya perasaanku saat itu. Bapak menyuruhku menunggu hasil pengumuman D3 Analisis Kimia dan meminta aku tetap optimis. Meski tidak mudah, aku berusaha menghibur diriku sendiri. Aku yakin bisa lolos di tes D3 Analisis Kimia ini. 

Pengumuman itu akhirnya keluar juga. Dengan semangat, aku datang ke kampus Unibraw untuk melihat hasil pengumumannya. Aku tertunduk lemas saat mengetahui kalau aku tidak lolos di tes tersebut. Orang tuaku berusaha menguatkan diriku supaya tidak terlalu sedih berlebihan. Mereka meminta aku untuk mencoba tes lainnya. Berbekal informasi dari internet dan bertanya dengan kerabat di Surabaya. Akhirnya aku memantapkan langkahku menuju Kota Pahlawan demi mengikuti tes Desain Grafis di Unair. Hasil pengumaman tes keluar beberapa minggu kemudian. Aku tertunduk lemas saat membaca surat pengumuman tes Desain Grafis yang dikirimkan lewat pos. Aku gagal untuk yang kesekian kali. Aku putus asa karena tidak tahu harus berbuat apa-apa. Aku merasa masa depanku buram. Bapak terus menyemangatiku untuk mengambil sekolah di Universitas swasta saja. 

Awalnya aku sempat menolak karena ingin kuliah di perguruan negeri agar tidak membutuhkan biaya pendidikan yang besar. Tidak ingin menambah kesusahan orang tuaku. Tapi beliau menyakinkanku untuk tidak terlalu khawatir dengan masalah biaya. Asalkan aku bisa kuliah, mereka sudah senang. Bapak menganggap aku sebagai harapan masa depan keluarga. Beliau tidak ingin aku hanya lulusan SMU saja seperti bapakku. Pokoknya ingin aku bisa meneruskan harapan mereka. Biarlah bapak Ibu tidak kuliah, asalkan anak-anaknya bisa kuliah dan sukses semuanya. Harapan semua orang tua kepada setiap anak-anaknya. Aku terharu dan terselip rasa bersalahku karena belum bisa membanggakan mereka.

Beberapa hari kemudian, aku mencari informasi dan brosur universitas Muhammadiyah Malang (Unmuh). Setengah hati aku mengisi formulir pendaftaran di Unmuh. Masih bingung untuk memilih jurusan apa. Bapak menawarkanku untuk mengambil jurusan psikologi. Sesuatu yang asing buatku. Bagaimana prospek pekerjaan kedepannya?. Bapak hanya bilang kalau psikolog itu masa depannya bagus karena selalu dibutuhkan di setiap kantor untuk menyeleksi karyawan. 

Jujur aku masih belum yakin dengan pilihan kuliah yang ditawarkan Bapak. Aku benar-benar bingung. Pilihanku hanya dua, tetap memilih kuliah atau tidak sama sekali. Ah, aku tidak mau jadi pengangguran. Akhirnya dengan terpaksa, aku memilih jurusan psikologi itu. Alhamdulillah setelah mengikuti serangkaian tes, aku berhasil lolos. Terselip rasa syukur ketika namaku tercantum di papan pengumuman. Akhirnya aku bisa kuliah juga. 

Meski gamang, aku berusaha memantapkan hati. Bagaimanapun hidup harus terus berjalan. Aku akan mencoba menjalani sepenuh hati dan yakin pasti Allah akan memberikanku kemudahan. Demi masa depan dan ingin membahagiakan kedua orang tua, maka aku memohon ridho dan doa Ibu Bapak untuk bisa menjalaninya. Bismillah, aku pun melangkah. Kuakui langkah pertama selalu berat dijalani. Namun saat berhasil melewatinya sekali, maka langkah selanjutnya akan terasa lebih ringan dan mantap. 

Aku membuktikan komitmenku kepada orang tuaku untuk bersungguh-sunguh kuliah. Aku tidak ingin mengecewakan mereka lagi. Aku tidak pernah absen kuliah, kecuali sakit. Tugas individu dan kelompok tak pernah terlewatkan. Mencoba berkosentrasi di kelas. Bolak-balik ke perpustakaan dengan setumpuk buku di tangan. Begadang semalam demi mengerjakan tugas dan persiapan ujian. Itulah yang aku lakukan saat menjalani hari demi hari hingga satu semester terlewati. 

Hari yang kunantikan tiba. Hasil kuliah selama satu semester sudah ada di tangan. Deg-degan aku membukanya. Perlahan aku buka kertas hasil belajar semester itu. Alhamdulillah, puji syukur nilai-nilai mata kuliah sangat memuaskan sekali. Rata-rata mendapatkan nilai A dan B. Tidak sabar ingin menelpon Bapak dan Ibu untuk mengabarkan berita bahagia itu. 

Ada rasa haru, ketika Bapak Ibu merasa bahagia mengetahui nilai IPK-ku memuaskan dan tidak ada mata kuliah yang harus aku ulang. Ada rasa bangga saat bisa mempersembahkan hasil kerja kerasku kepada mereka. Rasanya tidak bisa dinilai dengan apapun. Inilah titik awal kebangkitan dari keterpurukanku. Keberhasilan melewati keterpurukan telah menjadi sumber motivasi yang kuat dalam diri ini. Aku memiliki semangat untuk terus menapaki kuliahku hingga selesai. 

Tahun 2004, aku berhasil menamatkan pendidikan psikologiku di Unmuh tepat empat tahun masa belajarku. Aku merasa bersyukur sekali. Selain lulus dengan nilai yang cukup tinggi, aku juga aktif di berbagai kegiatan kemahasiswaan. Aku mengikuti kegiatan himpunan di fakultas, sering mengikuti kegiatan di Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan menjadi asisten Laboratorium Psikologi. Aku hampir tidak percaya bisa berhasil melewati semuanya hingga selesai. Aku merasa menjadi seorang yang berguna karena bisa membahagiakan kedua orang tuaku, menjadi teladan bagi ketiga adikku dan bermanfaat bagi sekitarku. 

Lulus kuliah, aku melamar kerja di Balikpapan. Aku bekerja di sebuah biro psikologi sebagai asisten psikolog anak di Sekolah dasar Islam Terpadu (SDIT) favorit di kotaku. Psikolog ini telah membuatku jatuh cinta dengan profesi psikolog anak. Aku belajar banyak hal dari beliau. Buku-bukunya aku pinjam untuk aku pelajari. Aku tekun berlatih melakukan pengetesan secara langsung.Tiap hari mencoba mendiskusikan berbagai kasus hingga suatu hari aku berfikir untuk meneruskan pendidikan S2 psikologi anak di Unversitas Padjajaran (Unpad) Bandung. Aku mencoba mengutarakan keinginanku pada orang tuaku, mereka tampak setuju. 

Berkat doa dan ridho orang tuaku, aku mantap pergi ke Bandung untuk mewujudkan impianku jadi psikolog anak di Unpad. Sempat minder ketika mengikuti ujian tes ternyata hampir semua berasal dari universitas Negeri dan swasta favorit di Bandung. Ah, sudah kepalang tanggung, bismillah aku mencoba tetap menjalani semua skenario dalam hidupku. Satu keyakinanku kalau orang tuaku meridhoiku, insyallah Allah akan meridhoi jalan hidupku juga, aamiin. Alhamdulillah setelah menunggu beberapa minggu, aku mendapatkan surat pengumuman ujian masuk tersebut. Tertera namaku disana, Alhamdulillah sujud syukur kepada Allah yang telah memberikan berkah luar biasa ini. 

Kuliah di Unpad, berarti ini kali ketiga aku merantau ke pulau Jawa untuk menuntut ilmu. Pertama mengenyam pendidikan SMP di Surabaya dan kedua kuliah S1 di Malang. Alhamdulillah, tak pernah terpikirkan sebelumnya bakal melangkah sejauh ini. Jika bukan doa dan ridho Allah, tak mungkin bisa kulalui semudah ini. Tepat bulan Juli tahun 2005, aku memulai semester awal di Unpad. Jadwal kuliah yang sangat padat dan berat, khususnya untuk jurusan psikologi anak. Ada banyak praktek kerja berupa pengetesan bersama anak-anak dan orang dewasa lainnya. Pergi pagi dan pulang petang.  Setiap hari harus mengerjakan tugas-tugas perkuliahan yang menguras tenaga dan pikiran. 

Libur semester pertama, aku memutuskan menikah di kota tercinta bersama seorang teman SMU. Tidak ada bulan madu. Selesai walimahan (resepsi pernikahan), langsung kembali melanjutkan padatnya kuliah. Alhamdulillah dua minggu setelah menikah, Allah menitipkan amanah bayi di rahimku. Hari-hari selama 9 bulan aku kuliah selalu ditemani anakku. Meski sempat mengalami morning sickness setiap pagi hingga selalu terlambat ke kelas. Tetapi Alhamdulillah aku masih tetap semangat. Kecintaanku pada psikologi anak membuatku bisa melewati semua jatuh bangun, susah senang, suka duka selama menjalani kuliah di Unpad. 

Setelah anakku lahir melalui operasi Caesar, aku sempat izin 2 bulan untuk fokus mengurus anak dan pemulihan kesehatan setelah Caesar. Usia anakku 3 bulan, aku meminta bantuan pengasuh yang sangat menyayangi anakku untuk menemani anakku selama aku pergi kuliah. Beliau adalah seorang nenek berusia 70 tahun yang lebih sering kuanggap sebagai nenekku sendiri. Anakku pun mendapat kasih sayang layaknya seorang cucu baginya. 

Tidak mudah memang saat harus membagi semua kewajibanku mengurus rumah tangga, mengurus buah hati dan menyelesaikan kuliahku. Benar-benar dibutuhkan saling pengertian dengan suami untuk bisa menyeimbangkan semua tanggung jawabku. Aku menggunakan skala prioritas untuk mengatur semuanya. Anak dan suamiku tetap prioritas utama. Alhamdulillah, suami selalu membantuku. Kadang menemaniku hingga larut untuk menyelesaikan laporan praktek kerja atau mengantarkan konsultasi tesis dari kampus satu ke kampus lainnya. Kalau suami tidak meridhoiku kuliah sambil mengurus anak, mungkin takkan semudah ini Allah membuka setiap kesulitan yang aku hadapi. Tak jarang aku harus bekerja ekstra keras dibanding teman-teman yang masih single. Semua harus dijalani dengan kesabaran tingkat tinggi, disiplin dan keyakinan yang besar akan bisa terlewati semuanya. 

Tahun 2009, suami diterima sekolah doctor  di Universitas Korea Selatan. Aku harus mengurus rumah, buah hati dan kuliah tanpa didampingi suami tercinta. Buatku ini adalah ujian terberat dalam hidupku. Tidak mudah melewati hari-hari mengurus buah hati dan kuliah. Tidak ada lagi suami yang bisa setiap waktu menemaniku menyelesaikan tugas-tugas kuliah, mengantarkan konsultasi dan seorang teman diskusi yang paling sabar serta mengetahui pikiranku. Selama setahun, aku harus melewati semuanya sendiri. 

Tahun 2010, dosen pembimbing yang mengerti beratnya kondisiku memberikan kesempatan untuk segera sidang tesis. Alhamdulillah, sidang tesis berjalan lancar dan dimudahkan Allah. Semua berkat doa dan ridho dari suami, kedua orang tua, mertua dan seluruh teman-teman tersayang. Alhamdulillah, atas izin Allah Yang Maha Penyayang akhirnya aku diberi kesempatan untuk mewujudkan impian menjadi psikolog anak. Tak akan pernah aku lupakan semua perjalanan hidupku dari aku yang tidak berani bermimpi hingga menjadi sekarang ini. “Man Jadda Wa Jadda”, siapa yang bersungguh-sungguh, ia akan berhasil . Alhamdulillah Maret 2010 aku berangkat ke Korea Selatan menemani suamiku sekolah. Saatnya aku mendampingi suamiku menggapai impiannya. Semoga Allah meridhoi langkah kami, aamiin. 

 * Tulisan diatas awalnya berjudul "Dahsyatnya Ridho Orang Tua" yang kemudian diubah judulnya menjadi  "Mimpi Seorang Gadis Biasa"



Judul  : Berani Bermimpi

Penulis  : Elie Mulyadi dkk

Penerbit : Mizania; PT Mizan Pustaka

Cetakan  : I, Februari2014

Tebal  : 123 Halaman
Buku ini dapat dibeli di toko buku Mizan dan toko buku terdekat





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...